Jakarta - Sesuai catatan yang saya simpan, perlambatan ekonomi masih saja terus terjadi sejak awal tahun 2015 sampai dengan awal Oktober 2015, penyebabnya tak lain karena sentimen ekonomi dunia hingga turut mengerek ekonomi di Asia seperti Indonesia.
Situasi ini nyatanya benar - benar memberikan tekanan cukup dalam diantaranya belum bangkitnya rupiah terhadap dollar Amerika serikat dan berefek multi pada kegiatan sektor usaha di Tanah Air. Fakta telah membuktikan, selain faktor domestik yang menyebabkan beberapa industri gulung tikar akibat UMP yang terus meroket, di sisi lain besarnya industri yang bergantung impor, juga menjadi pemicu industri di dalam negeri 'terkapar'.
Saya tidak akan membahas terlalu jauh terkait ekonomi domestik yang terus memburuk, namun disaat situasi ekonomi memberikan tekanan negatif pada industri, apa yang perlu dijaga bagi setiap individu baik karyawan maupun wirausahawan dalam mengelola keuangan?.
Belum lama ini saya sempat berbincang cukup panjang terkait persoalan ini. Dia adalah Founder dan Presiden Vanaya Institut, Lyra Puspa yang membeberkan investasi yang tepat sebagai aset individu namun 'bekerja' menghasilkan pundi - pundi pendapatan.
Secara umum, di tengah anjloknya rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, mengoleksi emas merupakan salah satu instrumen investasi yang tepat bagi setiap orang, tapi itu perlu dicatat, investasi emas merupakan ajang mendulang pendapatan dalam jangka waktu panjang. Jadi orang baru bisa menikmati hasil penjualan emas jika sudah di atas 10 tahun.
Emas yang begitu berkilau saat ini, mungkin akan terasa berat bagi orang yang akan mengoleksi tapi disaat dollar tengah perkasa yang menyebabkan mata uang lain seperti rupiah tidak bisa bangkit dari zona keterpurukan.
Tidak hanya emas, instrumen lain juga perlu diperhitungkan bagi siapa saja yang memiliki uang lebih untuk berinvestasi, sebut saja properti termasuk di dalamnya ada tanah, saham bagi yang mengerti dan paham bertransaksi hingga reksadana. Instrumen - instrumen ini perlu menjadi bidikan setiap orang, khususnya bagi siapa saja yang benar - benar menyisihkan uangnya untuk berinvestasi.
Sementara, apakah adakah investasi yang justru tidak direkomendasikan. Lyra Puspa dalam dialognya saat itu mengatakan, aset yang diinvestasikan dalam bentuk deposito bank tidak direkomendasikan karena imbal hasil yang diperoleh tidak sepadan seperti diharapkan.
Menurut Lyra, produk seperti deposito memang menawarkan suku bunga agar bisa berkembang biak. Besarnya suku bunga juga tergantung nilai yang ditanamkan pada deposito itu sendiri, makin besar yang ditanam makin besar pula bunga yang didapat.
Tapi menurut Lyra, orang tidak sadar bahwa suku bunga yang ditawarkan pada produk seperti deposito justru akan tergerus oleh tingkat inflasi yang terus bergerak setiap tahunnya. Itu pun belum dipotong pajak dari besaran bunga yang didapat nasabah.
Tanpa disadari, inflasi yang terus menggerus investasi dalam bentuk deposito belum lagi dipotong pajak, maka tidak akan sebanding dengan menginvestasikan dana pada produk yang lebih menjanjikan sebut saja properti, emas, saham dan lainnya.
Tapi, meski deposito merupakan bukan pilihan yang tepat bagi pemilik modal, namun nyatanya masih banyak orang yang membenamkan duitnya di deposito. Semua itu tergantung pilihan orang itu sendiri. Jika memang setiap orang ingin investasi namun besarnnya tidak tergerus inflasi, maka tingkat kecerdasan menjadi kunci sukses setiap orang, apalagi di tengah ekonomi yang saat ini serba naik.
Komentar
Posting Komentar