Jakarta - Seorang kawan ada yang pernah bertutur, bahwa ucapan yang pernah terlontar adalah doa bagi orang yang berucap, lalu bagaimana dengan fakta yang saya lontarkan saat berucap ingin menjadi orang hebat?.
Sekitar tahun 94 hingga 2001 silam, disaat saya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di desa terpencil dan masih minim akses listrik pada kala itu, pernah berucap ingin menjadi orang 'hebat'.
Saat di bangku SD, suatu ketika sempat membaca salah satu surat kabar yang menurut saya cukup terkenal di antero Jawa Tengah. Tanpa sengaja memang, membaca surat kabar di sekolah, yang kebetulan didapat dari salah satu guru yang membawa surat kabar tersebut dan membawanya ke sekolah.
Sebagai anak SD yang tinggal di dusun, mendapatkan koran dan membacanya terbilang jarang, mengingat orang tua pasti lebih mementingkan kebutuhan makan ketimbang membeli koran. Maklum, dusun yang jauh dari kota, menjadi pertimbangan, kenapa hampir 99 persen masyarakat di desa yang sebagian besar petani, 'ogah' membeli koran termasuk orangtua saya sendiri.
Lembar demi lembar koran saya baca yang saat itu ditemani seorang kawan, yang kebetulan satu bangku di dalam kelas. Tulisan yang begitu banyak dan tertata rapi sesuai desain koran tersebut, membuat pribadi saya mengagumi seseorang yang berprofesi sebagai penulis di salah satu surat kabar setelah berulang kali membaca koran tersebut jika salah satu guru membawa koran jika datang ke sekolah.
Pada saat itu, saya berucap, ingin rasanya menjadi penulis handal dan hasil dari tulisan tersebut dapat dibaca semua orang sehingga mampu memberikan pencerahan bagi pembaca. Tanpa disadari, ucapan seolah menjadi cita-cita, karena semenjak membaca koran, di suatu waktu sempat salah satu guru bertanya tentang cita-cita, saya dengan lantangnya di dalam kelas ingin menjadi penulis, khususnya penulis berita.
Singkat cerita, masa SD telah berlalu dan masa SLTP akhirnya menjadi bagian keseharian saya untuk terus menuntut ilmu. Lokasi sekolah di tingkat SLTP sekarang lebih dekat dari rumah ketimbang SD. Maklum sebagai anak dusun, setiap hari jalan kaki menjadi 'makanan' sehari - hari karena lokasi rumah yang terletak di perbukitan dan harus menyusuri jalan setiap hari jika berangkat sekolah yang letaknya di kaki bukit.
Di masa - masa SLTP saya pun mulai merasakan ilmu yang terus bertambah, belum lagi teman juga bertambah. Dari waktu ke waktu terus saya lalui hingga akhirnya seiring berjalannya waktu, saya pun sempat merasakan sebagai ketua OSIS.
Sebagai ketua OSIS rasanya menjadi kebanggaan tersendiri maupun keluarga. Apalagi, organisasi ini membuat diri saya banyak merasakan dampak positif, yang kala itu tidak pernah saya nikmati jika tidak menjadi salah satu unsur organisasi.
Sebagai anak sekolah, informasi terkini yang datangnya dari luar sebenarnya menjadi harapan, diantaranya informasi dari kota bahkan manca negara. Ajang untuk memanfaatkan informasi, satu-satunya adalah surat kabar yang terkadang dibawa oleh beberapa guru di sekolah, lalu meminjamnya, itupun kalau koran itu dibeli, kalau tidak ya pasti tidak baca koran.
Internet pada waktu itu merupakan fasilitas langka yang sulit diraih, maklum sebagai anak dusun, bisa makan enak saja sudah bersyukur, apalagi mengakses internet. Mungkin, internet sudah dinikmati masyarakat yang tinggal di kota, tapi tidak bagi saya.
Lalu bagaimana dengan televisi?, televisi pada tahun 2001 bagi saya nampaknya seperti barang mewah, karena di dusun yang saya tinggali, rata - rata rumah tidak memiliki televisi, andaipun ada, itupun harus menyusuri berkilo - kilo meter. Di rumah, orang tua sempat memiliki televisi, tapi sayangnya masih hitam putih dan tayangan yang ditangkap hanya TVRI.
Mungkin sulitnya medan, menyebabkan tayangan televisi yang datangnya dari stasiun tivi swasta, sulit sekali menangkap sinyal jika hanya menggunakan antena biasa. Memasang antena yang menjulang memang menjadi solusi sinyal tivi swasta dapat ditangkap, tapi itu pun belum maksimal karena gambar yang didapat tidak sejernih yang diharapkan. Satu - satunya tayangan jernih hanyalah TVRI, maka meski memiliki tivi, yang bisa ditonton hanya TVRI.
Suatu ketika, disaat menonton tayangan TVRI, saya sempat mengagumi salah satu tayangan yang di dalamnya adalah satu orang memanggul kamera televisi. Betapa gagahnya orang yang berprofesi seperti itu.
Singkat kata, kekaguman itu nyatanya telah menghipnotis diri dan berambisi jika sudah tuntas mengenyam pendidikan, ingin rasanya bekerja sebagai 'pemanggul kamera', sebutan saya kala itu, tapi juga ingin menjadi seorang penulis. Dua profesi itu terus mendarah daging dalam jiwa dan tertanam kuat saat mengenyam pendidikan SLTP berdurasi 3 tahun.
Sebagai pribadi yang ingin menjadi pemanggul kamera atau sekarang disebut Camera Person atau kameraman dan penulis koran atau disebut wartawan, tulisan - tulisan maupun gambar yang berhubungan dengan kamera, saya simpan dan menjadi dambaan dalam hidup, apalagi jika mimpi ini benar - benar menjadi kenyataan. Tapi sebagai bocah yang masih duduk di bangku SLTP atau sekarang SMP, hanya bisa berangan - angan, semoga saja, cita - cita itu terkabul.
Terlepas dari cita - cita itu, sampai akhirnya saya pun tuntas menyelesaikan SLTP dan untuk siapp menempuh janjang berikutnya, saya harus masuk ke bangku SLTA. Ya, SLTA yang letaknya mengharuskan saya sekolah di kota setingkat kecamatan di kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Jarak dari dusun saya tinggal, menuju kota membutuhkan waktu 30 menit menggunakan angkutan desa atau angdes. Namun ongkos pulang pergi sekolah di kota, menjadi pertimbangan tersendiri bagi keluarga, dan akhirnya, SLTA di kota Kebumen terpaksa kandas. Lantas, bagaimana untuk menempuh itu agar tetap sekolah ke jenjang lebih tinggi?, ternyata waktu bercerita (bersambung).
Komentar
Posting Komentar